KASUS pelecehan seksual yang dialami Agni, mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) menemui titik temu. Korban memilih berdamai dengan pelaku berinisial HS yang merupakan rekan KKN di Maluku, pada 2017.
Kedua pihak akhirnya memilih damai setelah menandatangani kesepakatan penyelesaian kasus pelecehan seksual ini melalui jalur non-litigasi atau secara internal UGM.
Diketahui, dalam momen kesepakatan tersebut, HS menyatakan menyesal dan mengaku tindakannya adalah sebuah kesalahan. HS meminta maaf pada Agni atas kejadian buruk tersebut. Selanjutnya, HS wajib mengikuti mandatory counselling dengan psikolog klinis yang ditunjuk UGM sampai dinyatakan selesai oleh psikolog yang menanganinya.
Kemudian, Agni juga wajib mengikuti trauma counselling yang ditunjuk UGM atau yang dipilihnya sendiri sampai dinyatakan selesai oleh psikolog yang menanganinya.
Baca Juga: 4 Zodiak Ini Diramalkan Bakal Kecelakaan di 2019, Anak Indigo Sarankan Donor Darah!
Okezone pun mencoba mengulik lebih jauh mengenai kasus kekerasan seksual ini ke Psikolog Klinis Meity Arianty, STP., M.Psi. Menurutnya, keputusan yang sudah diambil Agni tentu sudah berdasar pemikiran panjang dan bukan keputusan yang mudah juga untuk diambil.
Psikolog Mei menjelaskan, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Dengan begitu, harusnya hukum bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan justru sebelum kejahatan itu terjadi.
Dalam deklarasi Milan 1985, bentuk perlindungan yang diberikan bukan hanya ditujukan pada korban kejahatan tapi juga perlindungan terhadap korban penyalahgunaan kekuasaan.
"Ini sebenarnya menjadi perhatian dunia bahkan PBB memberi perlindungan terhadap korban dengan putusan; korban mendapat ganti rugi atas apa yang dideritanya. Namun sekali lagi hal di atas cukup sulit diterapkan," jelas Mei pada Okezone.
Baca Juga: Jangan Main-Main di 2019, Anak Indigo Furi Harun Ramalkan Tahun Ini Bayar Karma!
Pasalnya, korban cenderung memilih jalur damai dengan berbagai alasan. Malah masyarakat yang paling berpartisipasi, dengan berempati terhadap apa yang dialami korban dengan memberikan petisi atau mendesak pihak terkait mengusut tuntas seperti yg terjadi pada kasus mahasiswa UGM ini.
Terlepas apakah keputusan tersebut tepat atau tidak, saya rasa itu kembali kepada korban, karena dia yang mengalami, dia yang merasakan dampaknya sehingga dia juga yang paling tahu apa yang membuatnya menjadi lebih baik dalam menghadapi kasus ini," paparnya.
"Ingatlah, masyarakat atau penonton hanya bisa melihat dari jarak jauh tapi bukan pemain sehingga banyak hal yang akhirnya tidak mereka tahu, jadi kalau menurut saya korban tentu sudah mempertimbangkan apa yang paling baik untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi," tambahnya.
Baca Juga: Aksi Nyata 50 Tahun Hidupkan Inspirasi, Indomie Fasilitasi Perbaikan Sekolah untuk Negeri
Follow Berita Okezone di Google News