KASUS pernikahan anak di bawah umur masih menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Banyak generasi muda yang melakukan pernikahan di bawah umur dan menyebabkan berbagai masalah baik dalam segi kesehatan maupun ekonomi.
Sungguh miris memang, ketika Tanah Air dihadapkan dengan kasus-kasus yang bersumber dari prilaku masyarakat dan kurangnya informasi tentang dampak dari hal tersebut. Menanggapi masalah ini, Sekertaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Dr. Pribudiarta Nur Sitepu, menjelaskan bahwa tugas KPPPA adalah untuk mengeliminasi pernikahan anak di bawah umur.
 BACA JUGA : 5 Gaya Tampilan Wijaya Saputra, Mantan Agnez Mo yang Digosipkan Dekat dengan Gisel
Menurutnya pernikahan anak di bawah umur lebih banyak mudaratnya ketimbang dengan manfaat yang diperoleh. Meski demikian, KPPPA juga dituntut untuk melihat masalah ini dari berbagai sudut pandang secara komprehensif. Pasalnya kasus pernikahan pada anak di bawah umur, bukanlah sebuah masalah sederhana.
“Kita harus melihat permasalahan tersebut secara komprehensif. Tidak semata-mata karena kemiskinan, tapi ada masalah sosial budaya, sosio psikologis dan semuanya ada di sana. Masalah ini adalah kompleks bisa disebabkan berbagai sumber, bisa dari orangtua, anak itu sendiri, bahkan budaya, jadi kita harus mendengar semua pihak,” ucap Pribudiarta, saat dijumpai Okezone di Grand Mercure Harmoni, Rabu (6/3/2019).
Â
Pada kesempatan yang sama Pribudiarta juga menjelaskan cara yang bisa ditempuh untuk mengeliminasi kasus pernikahan di bawah umur. Salah satunya adalah dengan penyamaan persepsi melalui Focus Group Discussion (FGD) supaya dapat mencapai kesepakatan bersama. Pasalnya pernikahan anak di usia dini juga disebabkan oleh prilaku budaya masyarakat yang salah.
“Jadi langkah yang paling tepat adalah menyamakan persepsi lewat diskusi-diskusi yang dilakukan, kemudian dilakukanlah FGD dan kesepakatan bersama antara semua pihak. Menurut saya kesulitan terbesar adalah bagaimana cara menjawab prilaku budaya. Jadi yang terpenting adalah bagaimana cara kita mensosialisasikan prilaku budaya masyarakat,” lanjutnya.
Sebagai contoh Pribudiarta memberikan perbandingan dengan Amerika Serikat (AS) yang menetapkan 16 tahun sebagai usia minimal bagi anak untuk menikah. Namun, standar tersebut dapat dikelola dengan baik karena sosialisasi yang benar.
 BACA JUGA : Hoaks Kesehatan Peringkat 2 Setelah Politik, Soal Vaksin hingga Lele Sebabkan Kanker
“Amerika standarnya 16 tahun, tapi mendorong keluarga untuk tidak menikahkan anak. Sementara Indonesia menerapkan usia 18 tahun karena jaminan perlindungan anak, secara biologis mereka telah siap dan secara ekonomi mereka telah mampu, sehingga usia tersebut itulah yang ditetapkan,” tuntasnya.
(dno)