Masalah perkawinan anak di Tanah Air masih menjadi isu serius yang harus diperhatikan oleh banyak pihak. Berdasarkan data, Indonesia menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia dan kedua di Asia Tenggara sebagai negara dengan angka usia perkawinan anak terbanyak. Tentunya itu bukanlah prestasi yang patut dibanggakan.
Melihat hal ini, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus berupaya menekan terjadinya perkawinan anak. Salah satunya adalah meminta kepada DPR untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berkaitan dengan batasan usia untuk menikah. KPPPA meminta agar batasan usia perkawinan antara laki-laki dengan perempuan sama, yaitu 18 tahun.
Sekadar informasi, pada undang-undang tersebut tepatnya Pasal 7 ayat 1 dikatakan, batas minimal usia perkawinan pada laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan adalah 16 tahun. Bunyi aturan ini bertentangan dengan UU Perlindungan Anak, dalam undang-undang disebutkan anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Dengan demikian, mengizinkan anak terutama perempuan di bawah usia 18 tahun untuk menikah sama saja merampas hak anak.
Pada Desember 2018 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perwakinan. Dalam pertimbangannya, MK menilai perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan dapat menimbulkan diskriminasi. Oleh karenanya, MK ikut mendorong agar revisi UU terkait hal tersebut segera dilakukan dalam jangka waktu 3 tahun. Apabila tidak kunjung dilakukan, maka yang akan digunakan sebagi acuan peraturan perkawinan adalah UU Perlindungan Anak.