Menyusul peredaran vape atau rokok elektrik yang semakin mudah dijangkau oleh anak-anak, sejumlah organisasi medis dan perhimpunan dokter Indonesia telah mengambil keputusan tegas bahwa mereka menolak peredaran rokok elektrik.
Saat ini rokok elektrik terbagi menjadi beberapa jenis dan bentuk seperti vape, jull, hookah, iqos, pods, dan masih banyak lagi. Namun dalam perkembangannya, produk rokok ini justru banyak digunakan oleh anak dan remaja.
Hal tersebut dipicu oleh iklan yang seolah menyatakan rokok elektrik tidak berbahaya seperti rokok konvensional, dengan aroma tertentu dan mengeluarkan asap yang memesona dalam kemasan menarik.
Pada kenyataannya, rokok elektrik memiliki bahaya yang lebih besar karena pada cairannya sering dicampurkan bahan kimia. Campuran inilah yang digadang-gadang dapat menyebabkan asma, merusak paru dan jantung, serta meningkatkan risiko kanker. Bahkan, bila digunakan pada usia lebih muda dapat menghambat perkembangan otak.
Di sisi lain, pemerintah dinilai gagal dalam upaya pengendalian tembakau atau rokok. Terlihat dari data Riskesdas perokok remaja meningkat menjadi 9.1%, target RPJMN 2014-2019 yaitu, 5,4%. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan memburuk melihat berkembangnya penggunaan rokok elektrik yang juga mengandung nikotin.
Menanggapi persoalan ini, Brigjen (Purn) dr Alexander K. Ginting, SpP, FCCP, Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan menegaskan peningkatan jumlah perokok pemula di Indonesia sudah dalam tahap mengkhawatirkan.
"Sudah jelas pemicunya adalah penggunaan rokok elektrik yang masif di kalangan anak muda. Kita berharap angka turun jadi 5,4%, malah naik jadi 10,7% di tahun 2019. Padahal, rokok elektrik dan rokok konvensional yang dibakar atau dipanaskan itu sama-sama berbahaya dan bisa memicu penyakit jantung, kanker, serta paru-paru," kata dr Alexander, dalam temu media di Gedung Adyatma, Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2020)