RASA kantuk yang menyerang tiba mungkin menyebabkan kita menguap. Memang, menguap adalah salah satu cara tubuh untuk menunjukkan bahwa otak kita kekurangan oksigen.
Tapi yang mungkin membuat kita heran adalah ketika seseorang menguap, maka orang yang melihat juga kemungkinan besar menguap juga. Lantas, apakah itu wajar?
Meski sering dianggap sebagai penanda rasa kantuk, menguap sebenarnya didesain untuk menjaga kita tetap terjaga, kata beberapa peneliti seperti dilansir BBC dalam sebuah penelitian yang dilaporkan pada tahun 2007 lalu.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lebih dari sekadar penanda waktunya tidur, alasan menguap adalah untuk mendinginkan otak, sehingga ia bekerja lebih efisien dan menjaga Anda tetap terbangun.
Namun, berbagai teori ini masih menyisakan banyak pertanyaan tentang kebiasaan manusia perihal menguap, dan salah satunya adalah mengapa orang cenderung ikut menguap ketika melihat orang lain menguap, atau bahkan ikut menguap saat sedang membaca tentang menguap atau memikirkan tentang menguap.
Sedikit pencerahan dari ilmuwan asal University of Albany di New York, Dr. Gordon Gallup, yang melakukan penelitian tentang menguap ini: ikut-ikutan menguap bukan berarti kita “tertular” rasa kantuk orang lain.
“Kami pikir menularnya menguap ini dipicu oleh mekanisme empati pada manusia, yang fungsinya menjaga kewaspadaan otak,” ujar Dr. Gordon, yang memimpin para peneliti di universitas tersebut.
Dalam penelitian lainnya dilaporkan bahwa menguap merupakan salah satu kebiasaan yang memiliki kemampuan “menggiring” secara tidak sadar, sama seperti ketika burung terbang dan mengepakkan sayapnya secara bersama-sama.
Teori lain berhipotesis bahwa jika seseorang menguap karena “tertular” orang lain, ini bisa membantu seseorang mengomunikasikan tingkat kewaspadaan mereka sekaligus mengoordinasikan waktu tidur.
Pada dasarnya, jika salah seorang memutuskan untuk tidur, mereka akan mengatakannya kepada orang lain dengan menguap, dan akan dibalas dengan menguap juga sebagai sinyal bahwa mereka setuju.