Media sosial ramai membahas Renatta Moeloek yang dijadikan fantasi seks akun Twitter @lont*kampus. Beberapa netizen menilai apa yang dilakukan pelaku sangat tidak bermoral.
"Engak ada akhlak," tegas pemilik akun @Lil_grizzly****. Begitu juga kata @stravw****, "Astaghfirulloh berdosa banget." Sementara itu, ada netizen yang berkomentar ini, "Cuekin aja, lah. Emang bang**t tuh orang. Kamu mau dibawain apa nanti pas aku pulang kerja, yang? Seblak? Boba?" tulis @bimbimhock***.
Berkaca dari kasus ini, apakah memiliki fantasi seks itu wajar? Atau itu bagian dari gangguan mental?
Menjawab hal tersebut, Psikolog Klinis Meity Arianty menjelaskan bahwa fantasi seks setiap orang itu akan berbeda. Laki-laki atau perempuan hampir memiliki fantasinya masing-masing, baik itu diakui atau tidak, namun paling sering dilakukan orang yang sudah menikah.
Lebih lanjut, Mei coba menuturkan permasalahan fantasi seks melalui teori yang pernah disampaikan Lehmiller, seorang psikolog asal Kinskey. Dalam teori tersebut diterangkan bahwa Lehmiller pernah melakukan penelitian terkait fantasi seks.
Penelitian tersebut menemukan fakta bahwa ada perbedaan fantasi pria dengan perempuan. "Kalau perempuan cenderung berfantasi tentang pengalaman seks sesama jenis dibanding laki-laki dan perempuan lebih menekankan pada di mana mereka berhubungan seks. Beda dengan laki-laki yang cenderung memiliki fantasi seks lebih erotis dan fokus pada dengan siapa mereka berhubungan seks," tulis laporan tersebut.
Baca Juga : Viral Potret Nama Anya Geraldine di Tengah Aksi Massa Tolak UU Cipta Kerja
Dan menurut Lehmiller, sambung Mei, fantasi setiap orang tampaknya mencerminkan siapa mereka dan biasanya fantasi seks dirancang untuk memenuhi kebutuhan psikologis orang tersebut yang unik. Maksudnya, bagi pasangan yang sudah menikah, fantasi seksual dibutuhkan dengan berbagi pertimbangan, salah satunya memberikan manfaat bagi kehidupan intim mereka atau membantu mengeksplorasi hal-hal baru dalam berhubungan intim yang tidak pernah terpikirkan.
"Nah, yang perlu diketahui masyarakat, ada yang mengomunikasikan hal tersebut, tapi ada juga yang tidak. Menurut saya, setiap orang punya pertimbangannya masing-masing apakah membutuhkan fantasi seks dalam hubungan mereka atau tidak, tergantung setiap orang memandang hal ini dari sudut mana," papar Mei.