Dua kasus terorisme yang terjadi hampir berdekatan menjadi perhatian banyak pihak, tak terkecuali orangtua. Sebab, kedua aksi radikal tersebut dilakukan oleh anak muda.
Ya, pada kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, pelaku yang merupakan pasangan suami-istri diketahui berusia 26 tahun. Sementara pelaku teror di Mabes Polri, menurut data polisi berusia 25 tahun.
Peran serta orangtua sangat diperlukan di sini. Upaya pencegahan agar anak-anak tidak terjerumus ke dalam kelompok radikalisme perlu dilakukan. Ini yang menjadi perhatian Psikolog Klinis Meity Arianty.
"Remaja, mahasiswa, generasi milenial, adalah usia yang cukup rentan terpapar pemahaman radikalisme, bukan berarti usia dewasa tidak. Namun, karena usia remaja biasanya masih labil, sehingga akan mudah terpengaruh," katanya pada MNC Portal Indonesia melalui pesan singkat, Jumat (2/4/2021).
Padahal, sejak dini sebenarnya sudah dapat diantisipasi, sehingga remaja tidak mudah terjerumus ke dalam aktivitas yang bersifat radikal. Karena itu, peran orangtua dan guru di sekolah menjadi sangat penting.
Soal orangtua itu sendiri, lanjut Mei, pengawasan anak di rumah menjadi fondasi dasar. Ya, bagaimana orangtua dekat dan menjalin komunikasi yang baik dengan anak harus dibangun agar Anda sebagai orangtua mengetahui dengan siapa anak-anak bergaul.
"Tidak hanya itu, ketika kedekatan dan keterbukaan itu sudah terbangun, maka orangtua akan lebih mudah untuk mengajarkan anak-anak tentang hal dasar seperti agama, moral, dan bagaimana hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya," terang Mei.
Baca Juga : Pengantin Bom Gereja Anggap Bunuh Diri sebagai Bulan Madu di Luar Akal Sehat
Baca Juga : Analisis Tulisan Tangan Pengebom Gereja Makassar: Ada Rasa Tak Menyukai Diri Sendiri
Terdengar sepele, bukan? Namun, itu menjadi amat penting bagi orangtua karena kontribusi Anda cukup besar dalam mengarahkan anak-anak akan menjadi seperti apa dan memiliki pemikiran seperti apa di kemudian hari.
Mei menegaskan bahwa sumber dukungan paling besar setiap anak adalah keluarganya. Lewat dukungan itu, anak memiliki kontrol dalam bersikap saat dirinya sudah terjun ke masyarakat.
"Karena dukungan itu, anak-anak jadi punya rambu, kontrol, atau batasan yang dia peroleh dari keluarganya dan itu akan dia pakai saat bersosialisasi dengan orang lain di luar rumahnya," kata Mei.
Lebih jauh lagi, dalam teori Attachment disebutkan beberapa konsekuensi jangka panjang pada anak-anak yang kehilangan sosok orangtua dalam proses bertumbuhnya, misal kehilangan ibu, si anak cenderung rentan mengalami perilaku antisosial, masalah emosional, dan kenakalan remaja.
Baca Juga: Ikut Acara Offline BuddyKu Fest, Cara Jadi Content Creator Handal Zaman Now!
Baca Juga: Meet Eat Inspire, Hypernet Technologies Tawarkan Solusi PowerEdge Gen 15 Server
Follow Berita Okezone di Google News