LIMBAH bukan hanya bisa terdapat dari barang-barang produksi seperti makanan ataupun minuman. Dari industri fashion juga terdapat limbah fesyen di balik produksi dan konsumsi industri fast fashion.
Merujuk pada UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019, fesyen disebut sebagai industri paling berpolusi kedua di dunia, setelah industri perminyakan. 10 persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fesyen.
Program Director for Sustainable Governance Strategic Kemitraan Dewi Rizki membagikan sejumlah fakta menarik mengenai limbah fesyen di balik produksi dan konsumsi industri fast fashion.
Berikut lima fakta yang perlu digarisbawahi dan diketahui mengenai limbah fesyen, terutama bagi pengguna yang ingin menerapkan "diet" baju dan produk fesyen lain, seperti dkutip dari Antara.
Fast fashion punya andil besar
"Karena harganya yang murah dan modelnya sedang tren, banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut," ujar Dewi.
Dahulu rata-rata merek merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin. Namun, sekarang frekuensinya bisa jauh lebih tinggi. Ada merek global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun. Bahkan, mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi.
Memahami ancaman di balik fast fashion, Dinda sendiri selalu memilih model dan warna pakaian yang everlasting, misalnya blazer warna hitam yang bisa dipadankan dengan dalaman dan aksesori warna apa pun.
Berbagai rupa limbah fesyen
Dinda bercerita dirinya pernah melihat sampah yang menggunung, rupanya sampah tersebut terdiri dari berbagai pakaian. Sampah tersebut termasuk limbah fesyen yang berasal dari sisa kain dari produksi pakaian di pabrik berskala kecil dan besar, serta pakaian tak terpakai yang dibuang.
Sejumlah bahan pakaian tidak mudah terurai secara alami, seperti polyester dan nilon yang membutuhkan waktu terurai antara 20 hingga 200 tahun. Walau begitu, terdapat pula bahan alami seperti kain katun dan linen.
Selain itu, limbah fesyen juga termasuk limbah cairan. Industri fesyen, kata Dewi, menyumbang dua puluh persen limbah cairan di dunia. Pewarnaan tekstil menjadi polutan air terbesar kedua di dunia karena sisa air dari proses pewarnaan sering kali dibuang ke selokan dan sungai.
Berdampak pada krisis iklim
Dewi mengatakan emisi karbon yang sangat besar dari industri fesyen terjadi pada setiap tahap rantai pasokan fesyen dan siklus produk. Namun, 70 persen emisi karbon berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah.
Tak hanya itu, krisis iklim juga termasuk terkait dengan air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah tekstil, serta mikroplastik yang tidak bisa terurai secara alami.